NENEK TERPERANGKAP DI PEMANDIAN AIR PANAS

NENEK TERPERANGKAP DI PEMANDIAN AIR PANAS

(terbit di Kolom MANTAGI SINGGALANG

Oleh: Dewi Kumala Sutra

                                                                                                          

Setiap kali pulang kampung, hal yang paling saya senangi adalah mendengar cerita nenek. Banyak sekali beliau ceritakan pada saya seakan kami sudah lama tak jumpa. Padahal kampung saya lumayan dekat, dari Padang menuju Pariaman. Jadi bisa bolak-balik kapan saja. Saya mungkin termasuk salah satu sederetan cucu nenek yang suka mendengar ceritanya. Saya justru banyak menemukan ide untuk dituliskan setelah mendengar cerita nenek.

Saya bangga punya nenek seperti beliau. Selain suka memberi, pintar masak, penyayang juga pemberani. Beliau juga mengajari saya kedisiplinan. Bukti beliau disiplin, nenek sangat marah bila saya pulang sekolah terlambat, nenek marah bila saya tidak sempat menemaninya ke pasar berbelanja harian, nenek marah jika sepulang sekolah saya tidak pulang dulu tapi justru ikut kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Jadi sangatlah wajar jika ada orang yang bertanya pada saya perihal daerah, kampung-kampung ataupun nama jalan di Pariaman, saya selalu menggeleng. Banyak tidak tau karena saya jarang malala semasa sekolahan. Paling keluar rumahnya ketika sekolah, ikut kursus, ekskul, latihan karate, dan ke pasar membantu etek di kedainya.

Nenek saya adalah orang tua yang paling unik. Nenek sangat hobi baca koran berbaur politik, nenek hobi dengar bunyi letusan (mercun) yang dimainkan sepupu kecil saya karena mengingatkan beliau waktu zaman perang dulu, nenek juga hobi nonton adegan smackdown di TV, nenek suka pisang goreng yang pisangnya  mangka daripada matang meski giginya  sudah banyak ompong.

Nenek adalah orang yang paling nyinyir. Setiap kali pulang ke kampung, pertanyaan yang sering dilontarkan nenek kepada saya sesudah menjawab salam “ Kau pulang ko, layi bamatian kompor di kos? Listrik alah bacabuik, alah mati? Lemari layi bakunci? Layi basampaian ka ibuk kos pulang kampuang?”

Lalu apabila saya hendak balik ke Padang setelah berlibur di kampung, beliau akan beri nasehat “ Kau di Padang tu elok-elok, jan bapacar-pacar, kuliah yang rajin. Bilo kau baliak ka Pariaman baliak?”  sambil memberi saya bekal, beras, sambal, dan kerupuk baguak untuk dibawa ke Padang.

Bila saya sudah duduk di atas kereta api ataupun bus menuju ke Padang, saya mulai mengingat kembali pesan-pesan dan cerita nenek. Terkadang saya justru jadi ingat cerita  lucu nenek. Diantara cerita beliau yang paling lucu adalah ketika beliau diajak oleh saudara jauh saya ke pemandian air panas di Subang. Kebetulan saudara jauh saya itu ingin membawa mandehnya jalan-jalan. Maklum mandehnya selama ini hanya sibuk jualan sala lauak di Pariaman. Jadi sekali menempuh daerah Jawa ingin mengunjungi tempat-tempat wisata di sana.

Nenek saya mengiyakan ingin ikut pula. Mereka sudah siap bekal untuk makan-makan di tempat itu. Ahay…, nenek malah mete-mete di sana, kesal bersangatan karena pemandangan di situ tidak biasa didapati nenek di kampung halaman. Semua mandi berpasangan, pakaian dalam seadanya, nenek dan mandeh panik. Mulut mereka komat-kamit beristighfar. Nenek minta ingin cepat-cepat pulang. Apalagi di sana yang berkerudung hanya nenek dan mandeh saja. Akhirnya nenek dan mandeh pulang dengan membawa penyesalan. Menyesal  telah mengunjungi tempat itu.

Saya tertawa mendengar cerita nenek itu. Membayangkan bagaimana mimik wajah nenek di tempat wisata itu. Tapi mandeh setiba di Pariaman justru membangga-banggakan pada orang sekampung perihal ia telah mengunjungi banyak tempat wisata di Jawa. “Bia etek ko manjaja sala lauak bana salamo ko, tapi etek alah manjajaki Jawa, malala ka situ. Malah etek alah dibawo anak etek lo ka pemandian aiah angek di Subang jo ka Bali.” Kata mandeh pada pak Lurah. Pak Lurah ketawa mendengar promosi etek. Ia pun balas “ Hebat etek tu? Tapi apo yang etek caliak di situ? Urang batalanjang sajo kasadonyo mah. Awak Tek, daripada ka Bali bia lah awak kumpua pitih tuak ka Makah!” ungkap Pak Lurah sambil terkekeh.


Tinggalkan komentar